Minggu, 06 Juni 2010

Remaja terperangkap dalam sinetron

Sebagian besar sinetron di televisi berkiblat pada kebudayaan metropolitan yang mempertontonkan kemewahan sehingga berdampak negatif terhadap pemirsanya, terutama kalangan remaja. Mereka menjadi rentan terhadap konflik, kehilangan kepribadian, melupakan akar budaya, dan ingin mendapatkan segala sesuatu dengan jalan pintas.

"Remaja semakin 'terperangkap' dalam sinetron. Industri pertelevisian hanya berlomba bagaimana mendatangkan iklan, sementara program dengan idealisme kuat terpinggirkan," tutur pakar ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Prof Dr Harsono Suwardi, di sela-sela acara pengenalan Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid, di Jakarta, Selasa (6/11).

Selain itu, menurut Harsono, industri pertelevisian di Indonesia terjebak dalam komersialisasi dan menjadikan rating sebagai "dewa" yang harus dikejar sekuat tenaga. Padahal, rating atau pemeringkatan hanya sebuah alat ukur, bukan tujuan utama atau pencapaian akhir sebuah program acara.

Sejak hadir pertama kali, industri pertelevisian swasta di Indonesia dinilai tidak memiliki arah yang jelas. Sesungguhnya, kata Harsono, industri televisi sangat memiliki pengaruh luar biasa kepada masyarakat, bangsa, dan negara untuk menciptakan semangat persatuan, kesatuan, kebangsaan, serta membangun karakter setiap orang agar menjadi pribadi berkualitas.

Namun, dia menyatakan prihatin melihat sejumlah tayangan sinetron di berbagai stasiun televisi yang semakin tidak layak untuk ditonton karena menyesatkan dan membodohi publik.

Tayangan-tayangan sinetron, katanya, terlalu kental diwarnai semangat komersial atas dasar pemeringkatan, sehingga stasiun televisi melupakan fungsi mencerahkan publik.

Kenyataan tersebut, lanjutnya, tak bisa terus dibiarkan kare- na berimplikasi serius terhadap optimisme bangsa, menyangkut kelangsungan nilai-nilai luhur kepribadian dan budaya nasional. Tayangan asal jadi di televisi bermunculan karena pengelola stasiun televisi terjebak sistem pemeringkatan

"Sejumlah agen artis juga lebih asyik mencetak pemain yang hanya bisa senyum, pamer kecantikan, dan keindahan tubuh di depan produser dan sutradara. Akibatnya, sulit kita berharap tayangan berkualitas. Apalagi kecenderungan rating saat ini bukan lagi menilai kualitas tayangan, melainkan kuantitas penonton," ucapnya.

Harsono mengungkapkan, saat ini untuk membuat acara ditonton banyak orang, produser dan sutradara tidak perlu membuat tayangan bagus, tapi cukup dipolesi sedikit komedi atau artis yang berani memamerkan tubuh indah. Tayangan semacam inilah yang banyak diperhatikan tim survei lembaga rating, padahal berdampak buruk terhadap para remaja.
Sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hamsterku....